Minggu, 06 Februari 2011

Dasar Kekeliruan Penetapan Penambangan Pasir Besi Talaud

Menelisik kefatalan kinerja Pemkab Talaud yang digawangi oleh Elly Lasut pada bencana penambangan pasir besi di salah satu wilayah Nusa Utara ini dimulai dengan proses antara lain:


1. Adanya Surat Perjanjian Kerja-sama antara Pemda kabupaten Kepulauan Talaud yang diwakili oleh Bupati Elly Lasut dengan direktur perusahaan Penambang yang waktu itu masih berbentuk CV dengan nama CV. Anugerah Jaya yang diwakili oleh Direkturnya Donald Antonius Angouw, dengan nomor 255 tahun 2005 tertanggal 30 April 2005. Perusahaan tersebut beralamat di Jalan Tidar No. 74 Surabaya. Isi surat tersebut adalah bahwa pemda Talaud dan CV Anugerah Jaya sepakat melakukan kerjasama penambangan pasir besi di beberapa lokasi di pesisir kepulauan Talaud.


2. Surat Keputusan pemberian kuasa no. 255 tahun 2005 yang dikeluarkan oleh Bupati Talaud dr. Elly Lasut kepada CV Anugerah Jaya untuk melakukan eksplorasi terhadap lokasi-lokasi antara lain: - Di kecamatan Melonguanne, tepatnya di laut depan desa Tarun dengan luas 1.792 Ha. - Kecamatan Beo, tepatnya di depan teluk Beo dengan Luas sebesar 2.920 Ha. - Kecamatan Essang di depan pantai Maririt dengan luas 2.645 Ha, serta di kecamatan Tampannamma di depan desa Tuabatu dengan luas eksplorasi sebesar 1.899 Ha. adapun besar volume pertambangan adalah sebesar 1.920.000 meter kubik.

3. Surat persetujuan Penanaman Modal dario Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan no. 103/I/PMDN/2007, no. kode proyek: 1310-71-015783 tertanggal 19 Juni 2007 dan ditandatangani oleh sekretaris utama Yus'an. salah satu yang ditetapkan adalah waktu penyelesaian proyek adalah selama 36 bulan sejak surat di keluarkan; artinya seharusnya tahun 2010 ini proyek itu sudah tidak berjalan lagi alias surat persetujuan itu tidak berlaku lagi.

4. Perpanjangan izin pertambangan oleh bupati Talaud Elly Lasut kepada perusahaan penambang yang kini telah berubah menjadi PT Anugerah Jaya Mulia, dengan No.106 tahun 2007 tertanggal 21 Mei 2007 dengan masa perpanjangan selama 1 tahun. setelah itu tidak ada lagi pemberian perpanjangan izin sejak tahun 2008, artinya. seharusnya sejak tahun 2008 perusahaan tersebut ilegal berada di Talaud.

5. Tidak adanya bukti bahwa perusahaan telah melakukan kajian analisis dampak lingkungan terhadap lokasi penambangan terutama yang dilakukan oleh instansi berwenang yaitu Balai Pengelolaan Lingkungan Hidup baik Propinsi maupun Kabupaten Kepulauan Talaud.

6. Perusahaan melakukan sosialisasi pada awal bulan Januari 2010 bahwa akan diadakan eksplorasi tambang pasir besi. sosialisasi ini baru dilakukan setelah 5 tahun pemberian kuasa pertambangan dan telah ditandatanganinya surat kerja-sama antara pemerintah Talaud dan PT Anugerah Jaya Mulia. artinya selama ini masyarakat tidak tahu, sedangkan pemerintah melakukan kesepakatan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat. kemudian daftar hadir sosialisasi yang dihadiri oleh masyarakat Beo itu dimanipulasi sebagai tanda tangan persetujuan bahwa masyarakat Beo mendukung kegiatan pertambangan pasir di teluk Beo.

Masyarakat Talaud yang dimotori oleh warga masyarakat kelurahan Beo kemudian melihat kejanggalan kejanggalan baik secara administratif maupun secara ekologis:

a. Masyarakat tidak dilibatkan dalam penetapan lokasi pertambangan, tahu-tahu sudah ada kesepakatan.

b. Amdal yang tidak dilakukan baik oleh Perusahaan maupun oleh Pemda Talaud.

c. Dengan membandingkan penggunaan pasir darat oleh masyarakat yang hanya beberapa ribu kubik saja tapi sudah bisa mengakibatkan kerusakan dan abrasi pantai, maka masyarakat yakin bahwa pengerukan 1jutaan meter kubik pasir besi dari dasar laut Talaud akan mengakibatkan abrasi besar yang pada akhirnya akan menggerus desa-desa nelayan di pesisir pulau Karakelang seperti Desa Bantik Nungin, desa Bowone, perkampungan Maririt, desa Tarun, Sawang Binalang dan Tuabatu. Bukan hanya akan terjadi abrasi, tetapi lingkungan laut yang merupakan tempat pencaharian masyarakat Talaud yang berprofesi sebagai nelayan jelas akan rusak di mana tempat hidup ikan akan diobok-obok dan baru akan kembali pada kondisi semula setelah puluhan tahun.

d. Proses penambangan itu secara administratif melanggar beberapa peraturan dan perundangan di negara Indonesia di antaranya: Permen LH No. 8 tahun 2006 tentang penyusunan Amdal; Kepmen LH No28&29 tahun 2003, Kepmen LH No.13 tahun 1995 , Kepmen LH. No 110 tahun 1998 tentang larangan tentang produksi dan perdagangan bahan perusak lingkungan; Kepmen LH. no.37/2003 tentang air permukaan; UU No. 27 tahun 2007 tentang pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sumber :
http://www.nusautara.co.cc/2010/03/dasar-kekeliruan-penetapan-penambangan.html
24 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar